Minggu, 09 Juni 2013

AWAL MULA KONFLIK MEGAWATI - SBY


Konflik Mega-SBY Menahun


Presiden SBY kembali menegaskan kesediaannya mencairkan hubungan dengan Megawati yang telah membeku sejak 2004.
“Andaikata, andaikata, Ibu Mega bilang besok saya mau bertemu dengan SBY, maka saya pun besok juga akan mau bertemu dengan beliau. Banyak hal yang perlu diklarifikasi antara saya dan beliau,” ujar SBY dalam acara silaturahmi dengan wartawan di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/)
PDIP, partai yang dipimpin Mega, sendiri masih enggan melayani SBY. “Kan tidak ada masalah yang mendesak yang mengharuskan kedua beliau untuk ketemu,” ujar Ketua PDIP Tjahjo Kumolo.
Bagaimana sebenarnya konflik ini bermula? Untuk kilas balik, ada baiknya kita buka buku laris karya Prof Dr Tjipta Lesmana MA., berjudul Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
Di halaman 303, Prof Tjipta menulis, jauh sebelum Pilpres 2004, Presiden Megawati diam-diam melakukan semacam investigasi tentang keinginan dan kesiapan sejumlah pembantunya untuk terjun dalam pesta demokrasi itu. Ketika itu sejumlah menteri sudah santer disebut-sebut bakal mencalonkan diri. Mereka antara lain SBY, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla. Investigasi ini juga tampaknya juga dilakukan Mega untuk mencari pasangan cawapres.
Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang ditanya Megawati mengaku menjawab apa adanya, dia siap dicapreskan PBB. Apakah dirinya akan berpasangan dengan SBY, Yusril menjawab tidak.
Berbeda dengan Yusril, SBY selalu mengelak menjawab secara eksplisit setiap kali ditanya wartawan. Dengan diplomatis, SBY selalu menjawab, ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam.
Memasuki 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Oleh sebagian kalangan, tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY. Program ini kemudian distop KPU karena banyak protes.

Sepeti anak kecil
Megawati dan kubunya rupanya menaruh curiga pada manuver SBY. “Sumber penulis menuturkan, yang membuat Megawati kesal, bercampur galau, adalah sikap SBY yang dinilai tidak jantan, yakni tidak mau jujur ketika ditanya presiden apakah ia hendak mencalonkan diri. Kalau saja SBY mengambil sikap seperti Yusril, persoalan mungkin menjadi lain: sejak awal Megawati pasti akan meminta SBY meninggalkan kabinet; sama halnya dnegan Yusril. Namun SBY selalu menunjukkan sikap yang ambivalen, Megawati pun menggunakan taktik lain. Secara sistematis dan diam-diam dia mengucilkan SBY dari kabinet,” tulis Prof Tjipta di halaman 305.
Pengucilan itu dilakukan dengan tidak melibatkan SBY dalam sidang kabinet terkait bidang tugasnya. Ketika isu SBY dipinggirkan ini mencuat, Mega sudah mencium aroma politik SBY. Muncul pula pernyataan Taufiq Kiemas yang emosional, mengecam sikap SBY yang dinilai “seperti anak kecil”. “Dia menjadi Menko Polkam kan diangkat Presiden. Karena itu mestinya dia lapor ke Presiden, dia mau mencalonkan diri sebagai capres,” komentarnya.
Konflik SBY-Mega berakhir ketika pada 11 Maret 2004, SBY mundur sebagai Menko Polkam. Dua hari setelah mundur, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur. Tentunya, kampanye ini tak mungkin dilakukan mendadak alias telah disusun jauh hari, saat dia masih menjabat sebagai pembantu Megawati.
“SBY dianggap pengkhianat. Menikam dia (Mega-red) dari belakang! Enggak gentle,” ucap Roy Janis (halaman 289). Roy adalah tangan kanan Mega yang kini berseberangan dengan Mega dan mendirikan PDP.
“SBY dianggap menelikung dia. Mengkhianati dia,” kata Laksamana Sukardi, orang kepercayaan Mega yang kini satu gerbong dengan Roy.
Menurut Roy, kegusaran dan kebencian Mega terhadap SBY bahkan diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. “Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY), saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang!” begitu kata Mega di rapat pimpinan DPP PDIP sebagaimana ditirukan Roy.
Alhasil, saat SBY membacakan sumpah presiden pada 20 Oktober 2004, Mega memilih berkebun dan membaca buku di kediamannya di Kebagusan, Jaksel, tak memenuhi undangan pengambilan sumpah.

Sengaja
Menurut Prof Dr Tjipta Lesmana, SBY adalah politisi yang lihai. Bahkan dia menilai, ‘konflik’ SBY dengan Mega semata-mata konflik yang direkayasa sendiri oleh SBY.
Di halaman 307 pengamat politik ini menilai, konflik SBY-Mega yang dimulai pada 2004, sengaja dipelihara, kemudian di-blow up pada timing yang tepat dengan memanfaatkan media massa. Tujuannya untuk menarik simpati publik.
Kubu Megawati, tanpa sadar, digiring masuk perangkap, karena tidak jeli melihat permainan politik SBY yang cantik ini. Hal ini terutama tercermin dari ucapan-ucapan yang keluar dari kubu Megawati.
Dalam konflik Mega-SBY, SBY berhasil menciptakan opini publik, ia telah dizalimi oleh Mega; Mega dipojokkan sebagai pemimpin yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap pembantunya, SBY. “Dan SBY pun berhasil gemilang “mengibuli” media massa, sedemikian rupa akhirnya mayoritas media massa berpihak kepada SBY,” tulis Prof Tjipta seperti ditulis detikcom.
Akibat dari strategi ini, begitu SBY terjun berkampanye, sambutan massa pun gegap gempita. “Rakyat seolah-olah menyambut seorang pahlawan yang baru saja dizalimi oleh penguasa otoriter bernama Megawati Soekarnoputri!” tulis Prof Tjipta.
Menurut Prof Tjipta, bukti SBY memelihara konfliknya dengan Megawati hingga saat-saat terakhir tampak dari pernyataan-pernyataan dan dua pucuk surat yang dikirimkan SBY kepada Presiden Megawati. Surat pengunduran dirinya sengaja dikirim pada saat yang kritis. Dan hanya 2 hari setelah mundur, SBY kampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat, lalu keliling Nusantara untuk kampanye.
“Apakah kampanye di Banyuwangi pada 13 Maret (2004) hanya suatu koinsidensi? Mustahil! Jadwal kampanye itu pasti sudah dibuat jauh hari sebelumnya, ketika SBY masih “disibukkan” oleh perseteruannya dengan Megawati, ketika SBY masih beretorika “untuk mengkonsultasikan dan menemukan solusi sebetulnya pelaksanaan tugas saya sebagai Menko Polkam” (surat SBY pada Mega, 9 Maret-red)...” tulis Prof Tjipta di halaman 308.

Selanjutnya Prof Tjipta menulis:
“In restrospect, wajar kalau Megawati benci, bahkan benci setengah mati pada SBY. In restrospect pula, Megawati kemudian pasti sadar sesadar-sadarnya bahwa ia telah dijebak oleh SBY. Itulah sebabnya kenapa SBY tidak pernah mau terbuka ketika ditanya kesiapannya mencalonkan diri dalam Pemilu 2004. Ia memilih timing yang tepat untuk mendeklarasikan pencalonan dirinya, yaitu ketika opini publik sudah memvonis Megawati sebagai presiden yang telah memperlakukan salah satu menterinya, Menko Polkam, secara tidak adil dan sewenang-wenang yaitu me-nonjob-kan SBY selama berbulan-bulan.”

Seharusnya Mega Tahu
Konflik mereda setelah SBY mundur sebagai Menko Polkam dan menjadi capres dari Partai Demokrat (PD) pada 11 Maret 2004. SBY lalu maju Pilpres dan menjadi pemenang. Sedangkan Megawati sakit hati dan merasa ditikam dari belakang karena SBY tidak terbuka padanya maju sebagai capres semasa menjadi anak buahnya.
Padahal seharusnya Megawati sadar, SBY mengincar kursi presiden sejak 2001, setelah kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi wapres di DPR. Kala itu Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Hamzah Haz-lah yang terpilih sebagai wapres.
Kalah dalam pertarungan itu, SBY berinisiatif mendirikan PD. Sebuah kendaraan politik untuk mengantarkan SBY menduduki tampuk kekuasaan.
“Waktu itu kami berdiskusi, ikut partai besar atau membuat partai baru. Kita putuskan untuk membentuk partai sendiri. Kemudian beliau (SBY) bilang ‘Saya berikan nama Partai Demokrat,’ ujar salah satu pendiri PD, Thonty Bahaudin, kepada detikcom, Senin (16/3)
Menurut Thonty yang telah keluar dari PD ini, pertemuan tersebut terjadi pada 12 Agustus 2001 malam di Hotel Hilton (kini The Sultan), Jakarta Pusat (Jakpus). Sejumlah tokoh hadir dalam pertemuan yang menjadi sejarah dimulainya kejayaan PD itu.
Mereka di antaranya adalah SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono, Thonty Bahaudin, Adhyaksa Dault, Kolonel Kurdhi Musthofa, M Yasin (Letjen M Yasin, keluar dari PD dan mendirikan Pakar Pangan-red), dan Ventje Rumangkang (keluar dari PD dan mendirikan Partai Barnas-red). PD diresmikan pada 12 September 2001.
“Niat awalnya memang untuk mengantarkan SBY menjadi presiden. Ibu Mega seharusnya sudah sadar waktu itu, ada apa ini mendirikan partai?” jelas Thonty.
Keinginan SBY untuk mencapreskan diri, lanjut Thonty, sudah matang. Jikalau pun SBY terkesan diam-diam dan belum mau terbuka, itu merupakan strategi pria asal Pacitan, Jawa Timur, ini.
SBY menunggu saat yang tepat. Dan momentum pun tiba ketika terjadi perseteruan politik yang cukup emosional antara SBY dan Megawati. SBY kemudian tampil ke publik sebagai ‘pembantu’ presiden yang terpinggirkan.
“Itulah sikap politisi yang sesungguhnya. politik itu kan nggak hitam putih. Dan Ibu Mega kena taktik politik SBY. Beliau (Megawati) kurang waspada,” kata Thonty.
Kalangan elit PD, lanjutnya, juga sudah tidak sabar menanti SBY hengkang dari kursi Menko Polkam. Setelah SBY Mundur, tekad untuk memenangkan SBY di ajang pilpres makin membesar. Seluruh elemen PD berjuang mati-matian untuk menjual SBY.
“Saya menciptakan slogan SBY (Selamatkan Bangsa yang Besar ini). Kita sebut SBY sebagai pendiri Partai Demokrat, dan sebagainya,"kata Thonty.

Kronologi Konflik SBY-Mega
BENIH-benih konflik Mega-SBY bermula pada 2003, saat muncul isu SBY akan maju sebagai capres. Setelah itu perseteruan mengerucut hingga akhirnya Mega enggan bertemu atau bicara dengan eks anak buahnya itu.
Berikut ini kronologi konflik keduanya, disarikan dari buku Prof Tjipta Lesmana Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa:

Akhir 2003: Santer beredar isu Menko Polkam SBY akan maju dalam Pilpres 2004. SBY sering muncul dalam iklan di TV untuk sosialisasi pemilu. Karena banyak protes, KPU menghentikan tayangan itu. Kubu Mega mencium ‘aroma politik’ SBY dan mengucilkannya.

1 Maret 2004: Sesmenko Polkam Sudi Silalahi menyatakan, SBY merasa dikucilkan oleh Presiden Megawati dengan tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara. Istana menjawab, saat itu SBY ada di Beijing. ‘Perang mulut’ kedua kubu pun dimulai. Taufiq Kiemas menyebut SBY ‘jenderal kok kayak anak kecil’.

9 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, isinya konsultasi tugasnya sebagai Menko Polkam. Mega tak membalasnya.

11 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, mengundurkan diri sebagai Menko Polkam.

13 Maret 2004: SBY berkampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat.

16 September 2004: ‘Debat capres’ di televisi. Mega berpesan pada panitia bahwa tidak ada acara jabat tangan antar sesama capres.

5 Oktober 2004: Hari TNI ke-59, Presiden Megawati berpesan agar semua pihak legowo menerima hasil pilpres. Mega meneteskan air mata.

Saat itu KPU telah mengumumkan bahwa pemenang pilpres adalah SBY. SBY hadir dalam HUT TNI itu dan menjadi ‘bintang lapangan’. Tempat duduk SBY dan Mega diatur sedemikian rupa sehingga keduanya tidak berjumpa.

20 Oktober 2004: SBY membacakan sumpah presiden. Mega yang diundang menolak datang dengan alasan agar khusyuk mendoakan acara SBY itu berjalan lancar. Faktanya, Mega memilih berkebun dan membaca buku di rumahnya di Kebagusan, Jaksel.

20 Oktober 2004 sore: Mega mengundang warga sekitar dan kader PDIP untuk buka puasa di Kebagusan. “Saya katakan, kita bukan kalah (dalam pemilu), tapi kurang suara. Jangan merasa kita kalah, kita hanya kekurangan suara!” pidato Mega kala itu.

Saat Mega bertanya apakah kader PDIP siap merebut kembali ‘kursi’ yang lepas itu, hadirin menjawab, “Siaaap!”

Tahun 2005: Indonesia menjadi tuan rumah Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika. Presiden SBY mengutus Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk menyampaikan undangan pada Mega, sebab Purnomo dinilai dekat dengan Mega.
Mega menolak menerima Purnomo.(Harian Singgalang)

37 komentar:

  1. dari penjelasan diatas megawati yg haus akan kekuasaan, tidak bisa menerima takdir yg Allah berikan .. beliau pernah jadi presiden adalah kesalahan bangsa, dimana yg pantas menjadi pemimpin adalah lelaki, itu ada didalam Alquran .

    Kalo soal SBY engga mau terbuka pada saat ingin menjadi presiden, itu urusan pribadi SBY . megawati nya aja yg memang takut dengan kekalahan ..

    intinya SBY itu dicintai rakyat karena dia memang pantas dicintai ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu nama nya ga gentel bro, kan ada pepatah bilang alus gorengna ku bahasa. kan bahasa mah ga beli. kalo menang kalah mah biasa dalam pertarungan mas bro

      Hapus
    2. itu nama nya ga gentel bro, kan ada pepatah bilang alus gorengna ku bahasa. kan bahasa mah ga beli. kalo menang kalah mah biasa dalam pertarungan mas bro

      Hapus
    3. alah bawa2 alquran. sok suci lo

      Hapus
    4. Setuju, karena semestinya menjadi pemimpin maupun mantan pemimpin harus menunjukan kebesaran jiwa atas takdir yang telah terjadi, menang atau kalau bukan menjadi alasan untuk saling membenci. Dalam ranah politik memang jarang bahkan hampir tidak ada yang 100% mengedepankan unsur kebenaran untuk urusan berkampanye maupun adu taktik untuk dapat suara. Yang penting melalui kerja keras keduanya kita masih mendapatkan kehidupan yang sebaik-baiknya di negeri ini.

      Hapus
  2. Negara ini bukan warisan keluarga ,nenek moyang kami pun berjuang untuk negri ini banyak pahlawan mati tanpa pernah berfikir untuk jadi penguasa dikemudian hari ,dan anak cucunya tidak pernah menuntut gaji atas kematian mereka,

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Jaman SMP dapat cerita beginian, mulai dari pernyataan tentang Mega yang tak pandai menyembunyikan emosi dan SBY yang bak bunglon.

    Alangkah lucunya negeri ini. 😐

    BalasHapus
  5. dua duanya tidak berjiwa besar... baik sby dan mega....masa pemimpin bangsa sifatnya kaya gitu...yg satu ambekan... yg satu nggak gentle...

    BalasHapus
  6. Siapa yang cinta sby ? Sudahlah masa kelam SBY sudah habis, sudah cukup ayahnya berkuasa anaknya jangan karena masih teringat kasus besar yang di backup sby seperti Bank Century Hambalang dan lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hambalang adalah oknum kader,yang hebatnya ditangkap diera SBY menjadi presidennya.SBY Back up Bank Century Hambalang? tak ada bukti,silahkan kalau ada bukti bawa ke KPK,jangan sungkan apalagi sekarang SBY sudah bukan Presiden lagi..sepertinya anda ini BALITA asal ketik tanpa logika dan fakta...

      Hapus
  7. Itu kan cerita sepihak dari buku yang sumber-sumber beritanya pro PDIP,jadi wajar kalau beritanya gak berimbang....fakta dilapangan SBY memang dikuclkan oleh megawati,fakta dilapangan SBY dan partainya menang mutlak atas Megawati dan apakah kalian percaya sebagian rakyat Indonesia yang berjumlah diatas 200 juta jiwa bisa digiring semua oleh opini politik yang menyesatkan seperti yang dituduhkan kubu PDIP dan Megawati terhadap SBY.Nah sekarang pikir dengan jernih siapa yang menuduh dan berbuat seperti anak kecil...(seorang Jendral dikatain anak kecil hanya oleh seorang "suami " presiden)

    BalasHapus
  8. Itulah politik saling sikut saling terkam dalam dunia politik tidak ada halal dan haram yang ada keinginan nafsu dan kekuasaan terlaksana berbagai cara akan ditempuh agar tujuan terlaksana

    BalasHapus
  9. Kalau mega mau jadi presiden dtg kerumh saya biar saya kasi jurus ampuh, jurus sabar, trima aja kekalhan mu

    BalasHapus
  10. Sikap Mba Mega wajar. Ketika kita jadi atasan dan sedang memimpin, tiba tiba anak buah kita diam diam menyiapkan tak tik untuk menggantikan kita yang sedang fokus memimpin itu namanya dzolim.

    BalasHapus
  11. Sikap Mba Mega wajar. Ketika kita jadi atasan dan sedang memimpin, tiba tiba anak buah kita diam diam menyiapkan tak tik untuk menggantikan kita yang sedang fokus memimpin itu namanya dzolim.

    BalasHapus
  12. Sudalah kalah ya kalah aja , kl mau maju jadi presiden nyalon aja lagi, buktiin masih kepilih ngga gitu aja kok rempong

    BalasHapus
  13. G gentle sama sekali, apalagi sby seorang jendral TNI. Siapapun orangnya yg dikhianati pasti akan melakukan seperti itu. Ciri" seperti tandanya munafik.

    BalasHapus
  14. Yang pasti suasana politik skrg sungguh memprihatinkan. SBY adalah pemimpin ulung. Pendidikan demokrasi dieranya SBY cukup bagus. Kalau sekarang Juru fitnah merajalela Dan didiamkan. Asal menguntungkan golongannya.

    BalasHapus
  15. Banteng sudah punya kuasa lg sekarang. 10thn wara wiri mengembara karna selalu K.O ketika perang tiba. Ketika datang saat nya,pembalasan sang banteng pun terlaksana sudah.banteng mengirim cepot ke arena pertempuran 2014 untuk melawan sang bima bertempur. Karna langit sudah tak lagi biru saat nya mengirim cepot utuk mentas arena , banteng sadar klo dia yang kembali bertempur rasio kekalah nya sangat tinggi.banteng pun sekarang sadar pertempuran dia di 2004 & 2010 melawan yudistira berakhir tragis buat sang banteng.

    BalasHapus
  16. Klo mau beres negeri bikin kerajaan lagi.

    BalasHapus
  17. cepot sekarang menjadi radja, setelah mengalahkan bima sena di pentas yang di adakan 5thn sekali.bima yang gagah perkasa takluk oleh sang cepot putra semar yang memang sudah kehendak tuhan menjadi penguasa di nusantara.kenapa cepot bisa menang melawan bima?pertanyaan itu pasti di tanyakan? bima yang gagah perkasa bisa takluk oleh cepot yang bodoh & gampang di pengaruhi,jawaban nya agar di jadikan pelajaran untuk kedepan nya,tuhan sengaja melakukan itu untuk di jadikan pembelajaran bagi manusia agar berhati hati dalam memilih pemimpin.bukan hanya sekedar merakyat,buat apa merakyat tapi gampang di pengaruhi. cepot hanyalah wayang bukan dalang.aktor utama nya tentu saja si banteng,yang sudah menunggu 15thn untuk balas dendam kepada penguasa lalu.
    semua ini sudah kehendak nya,tak bisa di ganggu gugat. bahkan prabu jayabaya pun sudah meramalkan peristiwa ini bakal terjadi di nusantara.
    orang orang lalim & bodoh akan menguasai nusantara. jaman kolo mendu. masih anyak yang harus di lalui,masih banyak angkara murka yang bakal terjadi di nusantara.belum lagi kita juga harus melaui jaman gorogoro yang sudah di ramalkan prabu jaya baya. orang orang pernah berkata bahwa cepot adalah satria piningit,tau kah itu hanyalah fana.hanya orang yang tak tau apa apa yang mengatakan bahwa sepot adalah satria piningit.


    BalasHapus
  18. Dan akhirnyadi 2014 Megawati mengkhianati Prabowo. Politik itu kejam. Ditikam atau menikam

    BalasHapus
  19. Itu sby yg salah... coba kalo fair play....dy kalahhh...

    BalasHapus
  20. pantes kenapa tiap kali ada pemilu demokrat sampai skrg masih enggan koalisi sama PDIP. dan sejak 2014, demokrat jadi oposisi tapi yg lebih menonjol gerindra.

    BalasHapus